Suku Mapur, yang juga dikenal sebagai Orang Lom atau Urang Lom, merupakan salah satu komunitas adat tertua di Pulau Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Nama "Mapur" diambil dari daerah asal mereka, sementara "Lom" dalam bahasa Bangka berarti "belum", merujuk pada keyakinan tradisional mereka yang belum menganut agama formal yang diakui pemerintah Indonesia. 

Sejarah dan Asal-Usul

Asal-usul Suku Mapur masih menjadi perdebatan di kalangan peneliti dan budayawan. Beberapa sumber menyebutkan bahwa nenek moyang mereka berasal dari Majapahit. Konon, seorang bangsawan Majapahit menolak masuk Islam pada abad ke-16 dan melarikan diri ke Pulau Bangka, tepatnya di Tanjung Tuing, kemudian menetap di pedalaman hutan Desa Gunung Muda.  Namun, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa Suku Mapur berasal dari sekelompok pengembara asal Vietnam yang terdampar di Pantai Tanjung Tuing sekitar abad ke-5 Masehi. 

Tradisi dan Kepercayaan

Suku Mapur memiliki sistem kepercayaan yang erat kaitannya dengan alam. Mereka meyakini bahwa gunung, hutan, sungai, bumi, langit, dan hewan adalah bagian dari alam semesta yang menyatu dengan roh nenek moyang mereka. Oleh karena itu, mereka sangat menghormati alam dan percaya bahwa merusaknya akan mendatangkan bencana.

Salah satu tradisi penting dalam budaya Mapur adalah ritual "Nuju Jerami", sebuah upacara yang dilakukan sebagai bentuk syukur atas panen padi. Selain itu, mereka juga memiliki rumah adat yang disebut "Memarong", yang dibangun dengan arsitektur tradisional menggunakan bahan alami seperti kayu dan atap daun nipah.

Perkembangan dan Tantangan

Seiring berjalannya waktu, Suku Mapur menghadapi berbagai tantangan, terutama terkait dengan modernisasi dan ekspansi industri. Masuknya perusahaan perkebunan sawit dan penambangan timah telah mengancam keberadaan hutan adat mereka. Hutan yang dulunya menjadi sumber kehidupan dan bagian integral dari budaya mereka kini berkurang drastis. Pada tahun 2022, diperkirakan hutan adat yang tersisa hanya sekitar 5.000 hektar, dengan populasi Suku Mapur asli yang masih tinggal berjumlah sekitar 300 orang.

Selain itu, tekanan untuk menganut agama formal juga mempengaruhi identitas budaya mereka. Pada tahun 1980-an hingga 1990-an, pemerintah memindahkan sebagian Suku Mapur dari hutan ke dusun-dusun di Kecamatan Belinyu dan Riau Silip, serta mendorong mereka untuk memeluk agama yang diakui pemerintah. Hal ini menyebabkan perubahan dalam struktur sosial dan budaya mereka. 

Upaya Pelestarian

Menyadari ancaman terhadap keberlangsungan budaya Suku Mapur, berbagai pihak telah melakukan upaya pelestarian. Salah satunya adalah pembangunan Kampung Adat Gebong Memarong di Dusun Air Abik, Desa Gunung Muda, oleh PT Timah Tbk bekerja sama dengan Lembaga Adat Mapur. Kampung adat ini terdiri dari tujuh rumah tradisional yang berfungsi sebagai pusat pelestarian budaya dan destinasi wisata edukatif. Di sini, pengunjung dapat mempelajari berbagai aspek budaya Mapur, seperti proses anyaman tradisional, kuliner khas, pertunjukan seni, dan kehidupan sehari-hari masyarakat adat. 

Selain itu, Festival Mapur yang pertama kali diadakan pada tahun 2019 menjadi ajang penting untuk memperkenalkan dan melestarikan tradisi Suku Mapur. Festival ini menggabungkan ritual "Nuju Jerami", pertunjukan seni, dan wisata budaya, yang diharapkan dapat menjadi agenda tahunan dengan dukungan pemerintah daerah.

Kesimpulan

Suku Mapur merupakan bagian integral dari sejarah dan kekayaan budaya Pulau Bangka. Meskipun menghadapi berbagai tantangan, terutama dari modernisasi dan ekspansi industri, upaya pelestarian budaya mereka terus dilakukan. Dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, perusahaan, dan masyarakat luas, sangat diperlukan untuk memastikan bahwa warisan budaya Suku Mapur tetap lestari dan dapat diwariskan kepada generasi mendatang.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama